Senin, 07 Mei 2012

Tacha, Ulat Bulu, dan Belanda


Belanda selalu menarik, semenarik membicarakan Tacha, keponakanku. hal itu karena keduanya memiliki kemiripan, bukan dalam sisi fisik, namun sifatnya. Ya, Belanda dengan kebebasannya yang membangun telah menciptakan iklim kreatifitas yang tinggi di kalangan masyarakatnya. Demikian juga dengan Tacha, mamanya, kakakku, sejak awal berniat mendidik dengan kebebasan yang terarah membentuk Tacha menjadi pribadi yang kreatif, serta tidak manja padahal usianya baru 9 bulan. Dimana kreatifitasnya ?

Tacha, pada bulan lalu, belum bisa merangkak namun memiliki keinginan yang keras untuk melangkah dan menggapai barang yang tidak terjangkaunya. Rasa penasaran yang tinggi mendorongnya untuk memutar otak memikirkan cara mencapai keinginannya. Ketika ia tidak bisa merangkak maju maka yang dilakukannya adalah berguling-guling hingga mencapai tempat yang diharapkannya dan berhasil menggapai barang tersebut. Cara lain yang dilakukannya adalah maju a la ulat bulu, pelan namun sampai. Aku bilang a la ulat bulu karena dia memang maju seperti ulat bulu maju. Bayangkan saja betapa kocaknya.

Belanda adalah bangsa yang besar sejak dulu. Bukan memuji, namun kemampuan mereka mencapai tanah Nusantara dan menguasainya dalam waktu yang lama menunjukkan kemampuan berpikir di luar pattern. Kondisi geografisnya yang berada dibawah permukaan laut tidak membuat gentar namun justru berinovasi dengan terpen, tanggul, serta kincir anginnya, memberikan daya tarik wisata bagi bangsa lain. Siapa yang tidak kenal negeri Kincir Angin? Siapa yang menyangsikan kekuatan bangunan Belanda yang bahkan hingga kini masih berdiri dengan gagah di Indonesia.

Kreatifitas-kreatifitas itu terbentuk dari adanya kebebasan dalam berpikir dan kondisi alam mereka, dimana masyarakatnya tidak serta merta menjadikannya alasan untuk mengeluh dan bermanja namun menjadi motivasi untuk mengungguli bangsa lain.

Berbicara mengenai pendidikan, perguruan tinggi di Belanda termasuk dalam peringkat 10 dari antara 200 perguruan tinggi di dunia. Bahkan pada tahun 2011, 12 perguruan tingginya tercatat di dalam peringkat tersebut.  Sesuatu yang tidak teruji maka tidak dapat dikategorikan yang terbaik. Kebebasan pemikirannya tercermin dalam sistem pendidikan di negara ini, dimana semua anak-anak diwajibkan bersekolah dan sejak sekolah dasar telah diarahkan untuk menempuh jalur studi sesuai dengan kemampuan dan kemauannya. Tidak adanya stigma bahwa seorang yang  sukses adalah seorang yang pendidikannya hingga perguruan tinggi. Adanya pembagian jenjang pendidikan pasca basischool di Belanda, yaitu VBO dan MAVO (4 tahun) yang membuka jalan untuk menempuh pendidikan menengah kejuruan dan sistem magang, HAVO (5 tahun) untuk selanjutnya menempuh pendidikan tinggi kejuruan, dan VWO (6 tahun) merupakan cara untuk bisa menjejakkan kaki di bangku universitas,  menciptakan ruang bagi anak untuk berkreatifitas tanpa tekanan. Karena ketika standar pendidikan diterapkan tanpa mempedulikan kemampuan dan kemauan seorang anak maka hasilnya akan nihil, hanya mampu melahirkan pengikut saja bukan seorang pemikir, penemu, dan pencipta.

Ketika Tacha berusia 8 bulan dan masih belum mampu merangkak, mamanya tidak memaksakan standar namun memberikan ruang gerak. Hal itulah yang membentuknya berusaha menggapai keinginannya dengan cara lain : a la ulat bulu.

Dan Belanda, Nederland, Dutch, Koninkrijk der Nederlanden, adalah cara ulat bulu itu, menggapai cita-cita dengan cara yang kita mampu, untuk menjadi pemikir, penemu, dan pencipta. Bukan sekedar pengikut apalagi penonton. 

Melangkahlah keluar dari kotak dan raih impianmu.


Sumber-sumber :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar