Senin, 30 April 2012

BUNTU

Buntu
Kanan kiri depan belakang buntu
ketika kebun-kebun menyambut bunga yang tak henti bermekaran
aku sibuk memanen argumentasi yang tak jelas beranjak kemana


Mereka sibuk berdalil berbeda itu indah
berbeda itu sakit, lelah, dan buntu
tidak cukup satu kali
Harus berulang kali menahan sesak


Bunga-bunga itu masih sibuk dengan pemekarannya
dan aku tetap sibuk dengan argumentasi dan lelah
buntu 
sekali lagi buntu




gambar pinjam
http://shane-stories.blogspot.com 
                                                          

Selasa, 03 April 2012

BBM = Balada pemBuat Miskin



Seminggu terakhir kebanyakan media massa dipenuhi dengan pemberitaan mengenai rencana gila pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak, dengan dalih menyelamatkan APBN. Teriakan rakyat di luar gedung pemerintahan pun seakan hanya bisikan di tengah malam. Abstrak dan tak perlu dipedulikan. Berbagai tawaran diiming-imingkan pemerintah kepada rakyat agar menyepakati dan merelakan kenaikan harga bahan bakar minyak, mulai dari Bantuan Langsung Sementara Masyarakat hingga janji peningkatan infrastruktur daerah. Pemerintah seakan menjelma menjadi sosok ambisius yang rela melakukan apapun asal kebijakannya (yang seringkali tidak bijak) diamini oleh rakyat.

Kemuakan rakyat terhadap pemerintahan selama ini terakumulasi dalam sebuah momentum unjuk rasa penolakan kenaikan harga bahan bakar minyak. Bentrok antara mahasiswa-buruh dan kepolisian-TNI pun tidak terelakkan. Banyak korban yang timbul baik dari keberlebihan pengamanan kepolisian-TNI maupun keanarkisan pengunjukrasa.  Gejolak unjuk rasa yang terjadi di luar gedung ternyata tidak cukup bagi anggota legislative (yang ternyata tidak bisa menjadi legislator) untuk memberikan perhatian atas kebijakan yang harus diambil dalam rapat Paripurna tanggal 30 Maret 2012. Manuver-manuver politik yang mereka mainkan menjadi saksi bahwa keputusan apapun yang keluar dari ruang paripurna DPR tersebut tidak lebih dari permainan dagang sapi yang menjadi favorite mereka. Anggota legislative dalam menjalankan tugasnya memiliki rambu-rambu yang harus dipatuhi. Salah satu tugas anggota legislative adalah membuat undang-undang. Dalam menjalankan tugasnya tersebut mereka dibekali pagar berupa Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menjadi kiblat mereka dalam membentuk suatu undang-undang. Prinsip dasar yang paling jelas dan tegas, yang wajib dipahami secara mendalam oleh DPR, adalah materi undang-undang tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Prinsip tersebut iya dan amin.
Sayangnya, anggota DPR (dalam masalah ini saya kecualikan bagi FPDIP, FGerindra, dan FHanura. Mengapa FPKS tidak? Karena bagi saya mereka tidak lebih dari bebek2 yang bingung ikut siapa) yang agak dangkal pengetahuan hukum tata negara dan ilmu perundang-undangannya, dipimpin oleh seorang yang tidak kalah dungunya. Mereka berpikir bahwa substansi undang-undang dapat dibentuk melalui proses mayoritas minoritas tanpa mengacu pada prinsip yang jelas. Kekonyolan dan kebodohan mereka tersebut tampak jelas  dari diputuskannya pasal 7 ayat (6)a dalam UU APBNP pada tanggal 31 Maret 2012 dini hari.

Seluruh rakyat Indonesia tentunya dapat menyaksikan proses pengambilan keputusan yang tidak lebih baik dari dagelan yang dimainkan oleh pemula. Konyol, gila, dan bodoh. Bagaimana ketua DPR dengan seenaknya menabrak aturan-aturan yang telah dimuat dalam undang-undang dan menggantinya dengan voting yang tidak memiliki kekuatan hukum untuk menganulir substansi undang-undang. Belum lagi pengetahuannya mengenai tata cara persidangan yang dangkal menambah kekacauan persidangan. Sidang paripurna berlarut-larut tidak usai karena ketika melakukan skorsing, pimpinan sidang tidak memberika  batasan waktu. Hal yang seharusnya diucapkan oleh pimpinan sidang ketika melakukan skorsing.

Kembali pada materi sidang, banyak pakar hukum yang menyatakan bahwa pasal 7 ayat (6)a yang dipaksakan masuk untuk menyelamatkan wajah Partai Demokrat tersebut, merupakan pasal yang tidak konstitusional.
1.  UUD 1945 pasal 33 ayat (3) menyatakan : Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
2.  UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak Bumi dan Gas pasal 28 ayat (2) yang menyatakan : “Harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar”, telah dianulir oleh putusan MK

Entah karena pemerintah yang bebal atau memang  dungu dalam pengetahuan hukum, mereka tetap memaksakan kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak.

Alasan yang terus dikemukakan oleh anggota DPR terkait rencana kenaikan harga bahan bakar minyak adalah untuk menyelamat APBN. APBN yang diperoleh (sebagian besar) dari pajak rakyat dan sepatutnya diperuntukkan untuk pertumbuhan kesejahteraan rakyat justru diselewengkan. Tidak habis piker oleh saya jika lembaga legislative tersebut ingin menyelamatkan APBN mengapa tidak menggunakan cara lain yang tidak menambah beban masyarakat, seperti melakukan penghematan besar-besaran terhadap tunjangan dewan dan pegawai negeri sipil, menghapus pengeluaran untuk konsumsi rapat dewan, memangkas biaya “transportasi” anggota dewan yang melakukan kunjungan kerja dan bimbingan teknis. Hal-hal tersebut tentunya akan cukup terasa dan tidak menyengsarakan rakyat. Saya tidak tahu persis berapa “transportasi” anggota DPR ketika melakukan kunjungan kerja dan bimbingan teknis. Namun saya mengambil contoh dari DPRD Surabaya. Setiap dewan yang melakukan perjalanan dinas (kunjungan kerja atau bimbingan teknis) mendapat uang taxi Rp 150.000,- , uang saku Rp 250.000,-/ hari dan uang angkutan setempat Rp 300.000,- / hari, sehingga dalam 1 (satu) kali perjalanan akan mendapat hitungan demikian (kunjungan kerja umumnya dilakukan selama 3 hari 2 malam) : *

Uang saku                               Rp 250.000,- x 3    = Rp  750.000,-
Uang transport setempat           Rp 300.000,- x 3    = Rp  900.000,-
Uang Taxi                               Rp 150.000,-         = Rp  150.000,-
Total                                                                      Rp1.800.000,-


* tahun 2011 dan belum termasuk biaya tiket pesawat

Rata-rata setiap bulan seorang anggota dewan mendapat kesempatan 4 (empat) kali “jatah” perjalanan. Sehingga apabila dihitung secara kasar dalam 1 (satu) tahun dengan jumlah anggota dewan sebanyak 50 orang akan diperoleh demikian :

 Rp 1.800.000,- x 4 x12 x 50 = Rp 4.320.000.000,-

Angka yang WOOOWW kan…  jika saja dapat dilakukan penghematan setidaknya sebesar  50 % saja maka dalam 1 (satu) tahun DPRD Surabaya dapat memangkas anggaran yang tidak dapat mensejahterakan rakyat sebesar Rp 2.160.000.000,-. Angka yang lumayan jika dipergunakan untuk mendongkrak pelayanan pendidikan atau kesehata gratis.
(Sebagai informasi anggaran belanja tidak langsung berupa belanja pegawai untuk DPRD pada APBD 2012 sebesar Rp 15.984.866.750,-)

Apalagi jika kita berbicara tentang APBN yang jauh lebih besar. Anggaran berupa konsumsi rapat dewan yang seharusnya tidak perlu, toh para dewan tersebut telah mendapat gaji pokok, tunjangan, maupun fasilitas dalam menjalankan tugasnya tersebut. Jadi untuk apalagi mereka mendapat konsumsi dalam menjalankan tugasnya.

Wakil-wakil rakyat berdasi yang duduk di parlemen rupanya benar-benar terkena amnesia syndrome akut sehingga mereka lupa akan tugas pokok mereka dan lebih memilih terbuai menikmati fasilitas-fasilitas dari uang rakyat. Rakyat yang selama ini “dipaksa” memilih mereka dalam pemilu pun harus menerima nasibnya menjadi kambing kurban demi memenuhi nafsu financial para anggota dewan yang (katanya) terhormat itu.

Sekarang anggota DPR meninggalkan borok dalam kehidupan rakyat dengan menggantungkan nasib harga bahan bakar minyak  yang menyebabkan harga kebutuhan hidup melonjak dan ogah turun. Harga bahan pokok pun seakan mengerti makna pasal 7 ayat (6)a dengan menanti diumumkannya berita kenaikan harga bahan bakar minyak.
Dan lagi-lagi..dalam setiap kebijakan pemerintahan selalu rakyat yang menjadi pesakitan.