Seminggu terakhir kebanyakan media massa dipenuhi dengan
pemberitaan mengenai rencana gila pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar
minyak, dengan dalih menyelamatkan APBN. Teriakan rakyat di luar gedung
pemerintahan pun seakan hanya bisikan di tengah malam. Abstrak dan tak perlu
dipedulikan. Berbagai tawaran diiming-imingkan pemerintah kepada rakyat agar
menyepakati dan merelakan kenaikan harga bahan bakar minyak, mulai dari Bantuan
Langsung Sementara Masyarakat hingga janji peningkatan infrastruktur daerah.
Pemerintah seakan menjelma menjadi sosok ambisius yang rela melakukan apapun
asal kebijakannya (yang seringkali tidak bijak) diamini oleh rakyat.
Kemuakan rakyat terhadap pemerintahan selama ini
terakumulasi dalam sebuah momentum unjuk rasa penolakan kenaikan harga bahan
bakar minyak. Bentrok antara mahasiswa-buruh dan kepolisian-TNI pun tidak
terelakkan. Banyak korban yang timbul baik dari keberlebihan pengamanan
kepolisian-TNI maupun keanarkisan pengunjukrasa. Gejolak unjuk rasa yang terjadi di luar
gedung ternyata tidak cukup bagi anggota legislative (yang ternyata tidak bisa
menjadi legislator) untuk memberikan perhatian atas kebijakan yang harus
diambil dalam rapat Paripurna tanggal 30 Maret 2012. Manuver-manuver politik
yang mereka mainkan menjadi saksi bahwa keputusan apapun yang keluar dari ruang
paripurna DPR tersebut tidak lebih dari permainan dagang sapi yang menjadi
favorite mereka. Anggota legislative dalam menjalankan tugasnya memiliki
rambu-rambu yang harus dipatuhi. Salah satu tugas anggota legislative adalah
membuat undang-undang. Dalam menjalankan tugasnya tersebut mereka dibekali
pagar berupa Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang menjadi kiblat mereka dalam membentuk suatu
undang-undang. Prinsip dasar yang paling jelas dan tegas, yang wajib dipahami
secara mendalam oleh DPR, adalah materi undang-undang tidak boleh bertentangan
dengan UUD 1945. Prinsip tersebut iya dan amin.
Sayangnya, anggota DPR (dalam masalah ini saya kecualikan
bagi FPDIP, FGerindra, dan FHanura. Mengapa FPKS tidak? Karena bagi saya mereka
tidak lebih dari bebek2 yang bingung ikut siapa) yang agak dangkal pengetahuan
hukum tata negara dan ilmu perundang-undangannya, dipimpin oleh seorang yang
tidak kalah dungunya. Mereka berpikir bahwa substansi undang-undang dapat
dibentuk melalui proses mayoritas minoritas tanpa mengacu pada prinsip yang
jelas. Kekonyolan dan kebodohan mereka tersebut tampak jelas dari diputuskannya pasal 7 ayat (6)a dalam UU
APBNP pada tanggal 31 Maret 2012 dini hari.
Seluruh rakyat Indonesia tentunya dapat menyaksikan proses
pengambilan keputusan yang tidak lebih baik dari dagelan yang dimainkan oleh
pemula. Konyol, gila, dan bodoh. Bagaimana ketua DPR dengan seenaknya menabrak
aturan-aturan yang telah dimuat dalam undang-undang dan menggantinya dengan
voting yang tidak memiliki kekuatan hukum untuk menganulir substansi
undang-undang. Belum lagi pengetahuannya mengenai tata cara persidangan yang
dangkal menambah kekacauan persidangan. Sidang paripurna berlarut-larut tidak
usai karena ketika melakukan skorsing, pimpinan sidang tidak memberika batasan waktu. Hal yang seharusnya diucapkan
oleh pimpinan sidang ketika melakukan skorsing.
Kembali pada materi sidang, banyak pakar hukum yang
menyatakan bahwa pasal 7 ayat (6)a yang dipaksakan masuk untuk menyelamatkan
wajah Partai Demokrat tersebut, merupakan pasal yang tidak konstitusional.
1. UUD 1945 pasal 33 ayat (3) menyatakan : Bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
2. UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak Bumi dan
Gas pasal 28 ayat (2) yang menyatakan : “Harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas
Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar”, telah
dianulir oleh putusan MK
Entah
karena pemerintah yang bebal atau memang
dungu dalam pengetahuan hukum, mereka tetap memaksakan kebijakan
kenaikan harga bahan bakar minyak.
Alasan
yang terus dikemukakan oleh anggota DPR terkait rencana kenaikan harga bahan
bakar minyak adalah untuk menyelamat APBN. APBN yang diperoleh (sebagian besar)
dari pajak rakyat dan sepatutnya diperuntukkan untuk pertumbuhan kesejahteraan
rakyat justru diselewengkan. Tidak habis piker oleh saya jika lembaga legislative
tersebut ingin menyelamatkan APBN mengapa tidak menggunakan cara lain yang
tidak menambah beban masyarakat, seperti melakukan penghematan besar-besaran
terhadap tunjangan dewan dan pegawai negeri sipil, menghapus pengeluaran untuk
konsumsi rapat dewan, memangkas biaya “transportasi” anggota dewan yang
melakukan kunjungan kerja dan bimbingan teknis. Hal-hal tersebut tentunya akan
cukup terasa dan tidak menyengsarakan rakyat. Saya tidak tahu persis berapa “transportasi”
anggota DPR ketika melakukan kunjungan kerja dan bimbingan teknis. Namun saya
mengambil contoh dari DPRD Surabaya. Setiap dewan yang melakukan perjalanan dinas (kunjungan kerja atau bimbingan teknis) mendapat uang taxi Rp 150.000,- , uang saku Rp 250.000,-/ hari dan uang angkutan setempat Rp 300.000,- / hari, sehingga dalam 1 (satu) kali perjalanan akan mendapat hitungan demikian (kunjungan kerja umumnya dilakukan selama 3 hari 2 malam) : *
Uang saku Rp 250.000,- x 3 = Rp 750.000,-
Uang transport setempat Rp 300.000,- x 3 = Rp 900.000,-
Uang Taxi Rp 150.000,- =
Rp 150.000,-
Total Rp1.800.000,-
* tahun 2011 dan belum termasuk biaya tiket pesawat
Rata-rata setiap bulan seorang anggota dewan mendapat kesempatan 4 (empat) kali “jatah” perjalanan. Sehingga apabila dihitung secara kasar dalam 1 (satu) tahun dengan jumlah anggota dewan sebanyak 50 orang akan diperoleh demikian :
Rp 1.800.000,- x 4 x12 x 50 = Rp 4.320.000.000,-
Angka
yang WOOOWW kan… jika saja dapat
dilakukan penghematan setidaknya sebesar 50 % saja maka dalam 1 (satu) tahun DPRD
Surabaya dapat memangkas anggaran yang tidak dapat mensejahterakan rakyat
sebesar Rp 2.160.000.000,-. Angka yang lumayan jika dipergunakan untuk
mendongkrak pelayanan pendidikan atau kesehata gratis.
(Sebagai informasi anggaran belanja tidak langsung
berupa belanja pegawai untuk DPRD pada APBD 2012 sebesar Rp 15.984.866.750,-)
Apalagi
jika kita berbicara tentang APBN yang jauh lebih besar. Anggaran berupa
konsumsi rapat dewan yang seharusnya tidak perlu, toh para dewan tersebut telah
mendapat gaji pokok, tunjangan, maupun fasilitas dalam menjalankan tugasnya
tersebut. Jadi untuk apalagi mereka mendapat konsumsi dalam menjalankan
tugasnya.
Wakil-wakil
rakyat berdasi yang duduk di parlemen rupanya benar-benar terkena amnesia syndrome
akut sehingga mereka lupa akan tugas pokok mereka dan lebih memilih terbuai
menikmati fasilitas-fasilitas dari uang rakyat. Rakyat yang selama ini “dipaksa”
memilih mereka dalam pemilu pun harus menerima nasibnya menjadi kambing kurban
demi memenuhi nafsu financial para anggota dewan yang (katanya) terhormat itu.
Sekarang
anggota DPR meninggalkan borok dalam kehidupan rakyat dengan menggantungkan
nasib harga bahan bakar minyak yang
menyebabkan harga kebutuhan hidup melonjak dan ogah turun. Harga bahan pokok
pun seakan mengerti makna pasal 7 ayat (6)a dengan menanti diumumkannya berita
kenaikan harga bahan bakar minyak.
Dan
lagi-lagi..dalam setiap kebijakan pemerintahan selalu rakyat yang menjadi
pesakitan.