Aksi pembacokan terhadap Jaksa Sistoyo (mantan jaksa Kejari
Cibinong), jaksa yang diduga menerima suap, mengingatkan saya pada film “Seeking
Justice” yang dibintangi Nicolas Cage. Ketika masyarakat merasa muak atas
kecarutmarutan hukum, ketidakamanan lingkungan sosial, skeptic terhadap aparat
penegak hukum beserta sistem yang diterapkan di negara ini maka jalan yang
ditempuh adalah menerapkan keadilan dalam versinya masing-masing, main hakim
sendiri (eigenrichting).
Hakim, Jaksa, Polisi, dan Advokat dikenal sebagai catur
penegak hukum. Merekalah pilar yang dianggap berperan penting dalam upaya
menegakkan hukum namun fakta yang terjadi tidak sedikit dari mereka yang justru
bermain-main dengan kewenangan mereka. Sebut saja hakim, kewenangannya untuk
memutuskan suatu perkara adalah hal mahal jika ditukarkan dengan uang.
Pengalaman saya pernah bersinggungan dengan hakim yang menawarkan isi putusan
beberapa saat menjelang agenda sidang pembacaan putusan. Alhasil putusan sidang
yang dikeluarkan pun tidak lagi bertolak dari fakta-fakta yang terungkap dalam
persidangan namun justru bergantung pada jumlah amplop yang ditawarkan para
pihak. Banyak scenario-scenario yang disusun untuk menghasilkan putusan
persidangan yang memberikan keuntungan financial bagi penegak hukum.
Tidak hanya hakim, ketika berbicara mengenai kewenangan
jaksa pun, sarat dengan penyalahgunakan kewenangan. Bagi para praktisi hukum
ataupun masyarakat yang pernah berurusan dengan hukum secara institusi tentunya
paham betul ada harga yang harus dibayar untuk setiap tindakan yang diambil.
Jual beli isi tuntutan pun bukan lagi hal baru dalam praktek hukum, tidak
sedikit surat kabar yang menguak hal ini. Bahkan jaksa yang menanggung hukuman
atas hal tersebut pun telah ada, sebut saja Jaksa Urip Tri Gunawan yang telah
mendapat vonis 20 tahun atas suap yang diterimanya dalam kasus BLBI.
Dalam konstitusinya, Indonesia disebut sebagai negara hukum.
Hal yang sangat ironis jika diperbandingkan dengan kondisi riilnya. Penegak
hukum yang dulu dipandang berstatus mulia, problem
solver for law case saat ini benar-benar kehilangan muka-kehilangan tanduk
untuk melawan kejahatan. Penyelewengan kewenangan yang sudah sistemik tersebut
menjadi peluang ampuh bagi para pemegang kekuasaan baik di lembaga legislative maupun
eksekutif di negeri ini untuk meraih kekayaan demi memanjakan keluarganya. Seakan
makan 3x sehari, berbelanja 1x sebulan, dan tidur di kasur tidak lagi cukup
bagi mereka. Seakan berbelanja di Tanah Abang atau pasar grosir di kota-kota
lain menjadi hal memalukan bagi mereka. Tolak ukur penilaian harkat dan
martabat manusia saat ini memang telah benar-benar bergeser. Bukan lagi
berdasarkan kapasitas diri namun lebih pada brand
fashion, lebih pada penampilan fisik. Akibatnya korupsi pun menjadi jamur yang
tumbuh subur menghinggapi setiap aspek, mulai dari kepala hingga kaki.
Mahasiswa yang sejak mengikuti masa orientasi telah di”cuciotak”
bahwa mereka adalah agent of change yang dibebani tanggung jawab untuk merubah
kondisi sosial, merubah sistem yang buruk pun tak mampu melawan arus terlalu
lama. Tahun pertama pengabdian mereka di lingkungan pemerintahan bisa saja
berlangsung dengan baik namun selanjutnya…hanya mereka dan Tuhan lah yang tau,
tentunya beserta PPATK, BPK, dan KPK (aah..semua yang berhubungan dengan
keuangan memang membawa nikmat sekaligus kengerian, terutama jika bersinggungan
dengan kata pemeriksaan). Maka headline surat kabar maupun media elektronik
yang menggaungkan rekening gendut PNS muda bukan lagi hal mengejutkan.
Mengingat kompetisi di antara pendaftar PNS tidak saja ditentukan dari kualitas
otak namun juga kualitas dompet, maka kerja keras demi balik modal pasca
diterima pun menjadi harga mati. Yah..saya percaya diantara beribu PNS di
negeri ini masih ada yang melangkah dengan kejujuran dan perjuangan kualitas
diri, dan saya berharap kalian tetap pada pendirian untuk melawan arus.
Maka ketika terjadi “eksekusi jalanan” atas keadilan yang
tidak tercapai apakah menjadi kesalahan mutlak pelaku. Saya lebih memilih untuk
melihat sudut pandang mereka, walaupun sepatutnya tidak ada pembenaran atas tindakan
main hakim sendiri, namun berangkat dari kemuakan masyarakat atas
kecarutmarutan negeri ditambah kegeraman akibat tidakmampu untuk melakukan apapun, saya
dapat memakluminya. *Dengan catatan : keadilan tetap harus ditegakkan*
Eigenrichting yang saat ini mulai marak dan menjadi trend
harusnya menjadi titik balik penegak hukum untuk kembali menjunjung kejujuran
dan totalitas pengabdian. Dimulai dari mereka diharapkan dapat membawa
perubahan bagi tikus-tikus berdasi yang masih juga belum puas menggerogoti
negeri ini. Mereka bukan sekedar harus dibuat kapok, tapi harus dimatikan
hingga akarnya.
Pekerjaan rumah besar memang, serasa mustahil tapi bukan
berarti tidak mungkin. Pekerjaan rumah bagi kita masyarakat secara umum
tentunya dengan memperdalam ilmu agar tidak lagi salah memilih pemimpin. Citra
pemimpin yang dipilih juga merupakan cerminan dari pemilihnya. Buka mata,
telinga bahkan hidung lebar-lebar agar jangan sampai tertipu oleh tipu daya
pencari suara.